BLANTERWISDOM101

Perihal Contek-menyontek yang Disalahartikan

Rabu, 22 Juli 2020

Tidak memberikan contekkan bukan berarti pelit, ya

Seorang gadis kecil yang melihat pekerjaan milik temannya | sumber foto: Pexels.com/Pixabay





"Eh, gue nyontek, ya?"
"Nggak ah!"
"Dishhh, pelit banget sih lo!"

Pernah mengalaminya? Jujur, saya belum. Percakapan itu hadir di pikiran saya, entah dari mana. Kemudian langsung ingin membahasnya.

Kawan, tidak memberi contekkan (baca: sontekkan) itu bukan berarti pelit, ya. Tolong jangan mengambinghitamkan kata pelit untuk segala urusan, karena kata pelit itu tidak sama dengan Pak Luhut. Dan memberi contekkan bukan berarti solidaritas, ya.

Sampai sini, itu dulu garis besarnya.

Contek-menyontek adalah sebuah tradisi yang sudah mendarah daging di kalangan pelajar se-Indonesia. Bagi kalian yang merasa dirinya tidak pernah menyontek selama di sekolah, tak apa, kalian adalah pelajar hebat dan sangat patut menjadi teladan. Dan saya masih yakin kalau masih ada siswa/siswi yang seperti itu, tidak pernah menyontek seumur sekolahnya.

Dan karena sudah mendarah daging bin menjadi tradisi, gaya contek-menyontek juga sudah berevolusi, mulai dari yang konvensional sampai yang modern. Mulai dari membuat catatan di buku sampai tinggal melirik ke ponsel yang tersembunyi di kolong meja.

Contek-menyontek dibagi untuk dua hal, yaitu untuk ulangan, dan untuk mengerjakan tugas latihan.

Saya yang juga pernah menjadi praktisi menyontek--meski tidak sering, hanya kalau kepepet--lebih pilih menggunakan cara yang modern, cara-cara yang katanya revolusioner. Ya, tidak lain adalah menyontek ke Mbah Gugel.

Apalagi di zaman sekarang itu membawa ponsel (baca: hape) ke sekolah sudah lumrah banget dengan alasan untuk mencari materi tambahan yang tidak ada di buku bahan ajar, dan sebagai alat komunikasi siswa/siswi dengan orang di rumah. Namun kenyataannya, hanya segelintir orang ambisius dengan nilai yang menggunakannya dengan benar, sisanya digunakan untuk bersosmed, bermain game (mabar), dan menonton film.

Dalam pandangan saya yang sangat sempit, menyontek itu salah, karena membuat orang yang tidak menyontek menjadi iri. Menyontek juga salah karena bisa membuat guru marah bila ketahuan. Menyontek juga salah kalau dilakukan terlalu sering. Terakhir, menyontek juga salah kalau mintanya ke teman dan kalau tak dikasih malah marah-marah, ngedumel, dan tetek bengeknya.

Itu menurut pandangan saya yang sangat sempit loh, ya. Bukan pandangan secara keseluruhan. 

Siapa yang tidak kesal dengan orang yang masih menyontek ke teman di saat Mbah Gugel sudah menyediakan segalanya untuk kita? Selain simpel, dengan menyontek ke Google pun terlihat lebih elegan, peluang ketahuan dan didikte oleh guru kecil, tidak berisik, dan tidak mengganggu orang-orang yang fokus mengerjakan tanpa menyontek.

Yang barusan di atas adalah menyontek saat ulangan. Kemudian menyontek untuk mengerjakan tugas dari guru sebagai nilai tambahan. Gampang banget. Tinggal ketik saja salah satu soalnya, lalu bakal muncul jawabannya, berderet, tinggal pilih lalu salin. Beres. Dapat nilai. Semakin rajin menyontek mengerjakan tugas, semakin banyak nilainya dan rata-rata nilai menjadi tinggi, lantas masuk peringkat sepuluh besar.

Daripada menyontek ke teman, yang mana harus menunggu temannya selesai mengerjakan, baru kita menyalin jawabannya. Itu kan tidak efisien dan efektif, bisa ketinggalan deadline terus kalau begitu. Tapi kan kita bisa sembari menyalin saat teman kita sedang mengerjakan. Boleh saja, tapi membayangkannya saja sudah bikin greget. 

Duh, di zaman yang serba teknologi ini saja masih tidak mau sedikit repot dengan hanya search di Google dengan kata kunci tertentu. Padahal sama-sama tinggal lihat. Kenapa harus ke teman?

Terus dilanjutkan dengan membuat argumentasi, "Iyalah dia pelit, kan ada buntut siwinya, kan ada tahi lalatnya, kan ada tompelnya... " Kalau itu terjadi kepada saya, saya hanya akan tertawa. Tertawa untuk kebodohan argumentasinya. Mana ada hubungannya antara buntut siwi, tahi lalat, tompel, dan segala tanda lahir lainnya dengan pelit. Oh, jadi maksudnya kalau orang yang tidak ada tanda lahirnya itu tidak pelit, atau malah jadi orang yang meminta-minta? Entahlah.

Beberapa alasan yang saya pikir menyalahartikan kegiatan contek-menyontek.

Menambah solidaritas


Ini aneh. Menyontek dijadikan landasan untuk bersolidaritas. Yang katanya membantu sesama di saat kesulitan, dan kalau tidak membantu memberi contekkan berarti tidak solid. Haha, ini sih namanya mengambil kesempitan dalam kesempatan. Hal-hal sejenis ini biasa dipakai oleh politikus-politikus untuk membela kepentingan pribadinya dan menjatuhkan lawannya. Sudahlah, jangan memakai argumen itu lagi, mau disamakan dengan politikus-politikus jahat seperti itu?

Menyontek sepuasnya


Yang satu ini bikin greget banget. Sudahlah menyontek, tidak tahu batasan pula. Misal, dia lagi ulangan, ada sepuluh soal, eh sepuluh-sepuluhnya dia menyontek. Plong. Seenak jidatnya saja. Ya tidak sepenuhnya salah sih, hanya kepikiran kalau tweet-nya Bung Rocky Gerung tempo lalu itu benar.

Ijazah itu tanda Anda pernah sekolah, bukan tanda Anda pernah berpikir. -Rocky Gerung

Menyontek di segala kondisi


Mau pelajaran apa pun, susah atau gampang, dia tidak mau mempersiapkannya, lebih pilih menyontek daripada sedikit berpikir untuk menjawab soalnya. Mau sedang diawas guru yang killer tidak peduli, selalu ada cara menyembunyikan ponsel untuk menyontek, atau selalu ada cara untuk menyolek teman lalu meminta jawabannya dituliskan di kertas.

Orang yang seperti ini bisa dikatakan sudah kecanduan dengan menyontek, dan akan sulit untuk menumbuhkan semangat belajar.

Nah, ketiga alasan itulah yang saya pikir, tentunya dengan pemikiran saya yang sangat sempit, menyalahartikan kegiatan contek-menyontek.

Kalau generasi kita terus-terusan mengandalkan menyontek sebagai jalan ninja, lalu data Google untuk masa yang akan datang siapa yang mau mengisinya? Tidak mungkin bukan pelajar masa depan menyonteknya ke data lama yang sudah kadaluwarsa.***
Share This :

0 komentar